Oleh: Muhammad Gufron Hidayat, Mahasiswa Perbankan Syariah, UIN.
M. A. Mannan dalam bukunya Teori dan Praktik Ekonomi Islam menyebutkan bahwa ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Pengertian sederhana ini berimplikasi luas salah satunya pada tujuan ekonomi yang hendak dicapai. Jika ekonomi konvensional bertujuan untuk mencapai keuntungan yang berorientasi keduniaan semata, maka ekonomi Islam bertujuan untuk mensejahterakan pelakunya di dunia dan akhirat atau falah.
Lalu bagaimana cara untuk menggapai kesejahteraan dunia dan akhirat (falah) ini? Ekonomi Islam memandang, perlu terciptanya maslahah atau bentuk keadaan, baik material ataupun nonmaterial, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Konsep maslahah sendiri sudah sangat jelas digariskan, sebagaimana diungkapkan imam as-Shatibi, maslahah dalam kehidupan akan tercipta bila terjaganya lima hal, yaitu agama (dien), jiwa (nafs), intelektual (‘aql), keluarga dan keturunan (nasl), dan material (maal).
Ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang adil bagi semua pihak. Tidak ada yang dirugikan jika sistem ekonomi ini berjalan sebagaimana mestinya. Keadilannya tersebut disebabkan karena ekonomi Islam bersumber dari Tuhan semesta alam yang Maha Mengetahui.
Doktrin Sektor Riil
Ekonomi Islam menolak mekanisme pasar yang tidak berlandaskan pada keadaan riil di lapangan yang bisa menyebabkan economic bubble. Jika ditelaah lebih mendalam, economic bubble dimana keadaan pasar goncang persis sama layaknya ‘orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila’ sebagaimana disebutkan al-Quran di surat al-Baqarah ayat 275. Bukankah economic bubble juga lantaran tindakan riba yang dilakukan?
Sistem ekonomi yang tidak mementingkan sektor riil pun telah menunjukan ironisme lain bagi mayoritas penduduk dunia dewasa ini. 20% penduduk paling kaya menghasilkan 3/4 pendapatan dunia, sedangkan 40% penduduk paling miskin hanya menghasilkan 5% pendapatan dunia (Human Development Report 2007). Laporan lain menunjukan, lebih dari 20% penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan dengan standar US$ 1,25 per hari (Globalissues.org, Poverty Facts and Stats). Pun demikian dengan Indonesia. Sebagai negara yang menganut faham ekonomi liberal, benih-benih ketimpangan sosial telah sangat nyana di depan mata.
Di sisi lain, peran soktor riil dalam hal ini UMKM selalu dianaktirikan walaupun sebenarnya memiliki peran yang sangat vital. Dilihat dari kontribusinya terhadap pembentukan PDB (atas harga berlaku) tahun 2008, UMKM menyumbang sekitar 55,56% dari total PDB. Selain itu, UMKM turut berperan besar dalam penyerapan tenaga kerja secara nasional. Jumlah tenaga kerja yang diserap UMKM mencapai 90,9 juta orang atau 97,10% dari total jumlah tenaga kerja nasional. Sebagian besar tenaga kerja tersebut terkonsentrasi pada UMKM kategori mikro yaitu sebesar 81,74% dari total tenaga kerja UMKM.
Bagaimana dengan pandangan ekonomi Islam? Ekonomi Islam menekankan bahwa pergerakan ekonomi haruslah berada pada tataran sektor riil. Jika perekonomian ini bisa dikembangkan dengan maksimal, maka kesejahteraan sosial akan tercipta. UMKM merupakan salah satu bentuk konkrit pergerakan sektor riil. Oleh karena itu, sejatinya ekonomi Islam lebih mementingkan ini daripada terus menerus mengawang di sektor makro.
Peran Zakat dalam Membangun Kesejahteraan Masyarakat
Zakat merupakah salah satu pilar agama. Peran penting zakat tergambar jelas dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
“Islam dibangun di atas lima tiang pokok, yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah; mendirikan shalat; membayarkan zakat; berpuasa pada bulan Ramadhan; dan naik haji bagi yang sanggup.”
Peran penting zakat juga tergambar dari kenyataan bahwa al-Qur’an dan Sunnah selalu menggandengkan shalat dengan zakat. Dalam tafsir ath-Thabari, Abdullah bin Mas’ud mengungkapkan, “Anda sekalian diperintahkan menegakkan shalat dan membayarkan zakat. Siapa yang tidak mengeluarkan zakat maka shalatnya tidak akan diterima.”
Zakat memiliki peranan besar dalam menselaraskan kehidupan sosial masyarakat. Setidaknya zakat memiliki beberapa peran esensial dalam kehidupan sosial masyarakat.
Pertama, bagi orang kaya zakat berfungsi sebagai pengingat bahwa harta kekayaan yang dimiliki tidak sepantasnya disimpan (idle). Dengan zakat Allah memberi peringatan dan pendorong bahwa harta yang dimiliki harus diproduktifkan sehingga tidak bertumpuk pada satu orang. Bagaikan aliran darah yang mengalir, seandainya harta itu menumpuk di sebagian orang kaya, maka akan terjadi penyakit atau ketimpangan sosial sebagaimana terjadinya penyakit akibat penggumpalan darah.
Kedua, bagi penerima zakat (mustahik), harta zakat yang diberikan jelas sangat berguna. Harta tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan produktifitas penerima agar kelak di kemudian hari mereka pun bisa menjadi pemberi zakat (muzakki).
Ketiga, dilihat dari sektor makro, harta zakat yang diberikan kepada mustahik akan menggerakan roda perekonomian lebih baik lagi. Logikanya, seandainya di sebuah desa hidup 5 orang kaya dan 40 orang miskin. Kemudian, kelima orang kaya ini mengeluarkan harta zakatnya sehingga seluruh orang miskin tersebut mendapatkan haknya. Harta yang sudah ada di tangan mustahik kemudian dibelanjakan kepada para pemilik barang yang tidak lain adalah orang kaya pula. Harta zakat terbukti akan menimbulkan efek domino karena dalam perputaran uang itu akan timbul keuntungan-keuntungan yang diharapkan. Oleh karena itu, sangat tepat sekali jika al-Quran mengatakan bahwa harta yang dizakatkan tidak akan berkurang, justru sebaliknya akan semakin bertambah. Bukankah secara logika uang akan bertambah jika terus digulirkan?
Pada tataran masyarakat yang kompleks, aspek mentalitas pun perlu menjadi perhatian. Dengan mentalitas yang baik, harta zakat yang diberikan akan lebih produktif sehingga kesejahteraan di masyarakat akan tercipta. Semoga dunia ini lebih banyak dihiasi dengan sistem ekonomi yang lebih berkeadilan. Tidak hanya mementingkan keuntungan dunia semata tapi juga bertendensikan kepada fitrah kemanusiaan. (*)
M. A. Mannan dalam bukunya Teori dan Praktik Ekonomi Islam menyebutkan bahwa ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Pengertian sederhana ini berimplikasi luas salah satunya pada tujuan ekonomi yang hendak dicapai. Jika ekonomi konvensional bertujuan untuk mencapai keuntungan yang berorientasi keduniaan semata, maka ekonomi Islam bertujuan untuk mensejahterakan pelakunya di dunia dan akhirat atau falah.
Lalu bagaimana cara untuk menggapai kesejahteraan dunia dan akhirat (falah) ini? Ekonomi Islam memandang, perlu terciptanya maslahah atau bentuk keadaan, baik material ataupun nonmaterial, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Konsep maslahah sendiri sudah sangat jelas digariskan, sebagaimana diungkapkan imam as-Shatibi, maslahah dalam kehidupan akan tercipta bila terjaganya lima hal, yaitu agama (dien), jiwa (nafs), intelektual (‘aql), keluarga dan keturunan (nasl), dan material (maal).
Ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang adil bagi semua pihak. Tidak ada yang dirugikan jika sistem ekonomi ini berjalan sebagaimana mestinya. Keadilannya tersebut disebabkan karena ekonomi Islam bersumber dari Tuhan semesta alam yang Maha Mengetahui.
Doktrin Sektor Riil
Ekonomi Islam menolak mekanisme pasar yang tidak berlandaskan pada keadaan riil di lapangan yang bisa menyebabkan economic bubble. Jika ditelaah lebih mendalam, economic bubble dimana keadaan pasar goncang persis sama layaknya ‘orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila’ sebagaimana disebutkan al-Quran di surat al-Baqarah ayat 275. Bukankah economic bubble juga lantaran tindakan riba yang dilakukan?
Sistem ekonomi yang tidak mementingkan sektor riil pun telah menunjukan ironisme lain bagi mayoritas penduduk dunia dewasa ini. 20% penduduk paling kaya menghasilkan 3/4 pendapatan dunia, sedangkan 40% penduduk paling miskin hanya menghasilkan 5% pendapatan dunia (Human Development Report 2007). Laporan lain menunjukan, lebih dari 20% penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan dengan standar US$ 1,25 per hari (Globalissues.org, Poverty Facts and Stats). Pun demikian dengan Indonesia. Sebagai negara yang menganut faham ekonomi liberal, benih-benih ketimpangan sosial telah sangat nyana di depan mata.
Di sisi lain, peran soktor riil dalam hal ini UMKM selalu dianaktirikan walaupun sebenarnya memiliki peran yang sangat vital. Dilihat dari kontribusinya terhadap pembentukan PDB (atas harga berlaku) tahun 2008, UMKM menyumbang sekitar 55,56% dari total PDB. Selain itu, UMKM turut berperan besar dalam penyerapan tenaga kerja secara nasional. Jumlah tenaga kerja yang diserap UMKM mencapai 90,9 juta orang atau 97,10% dari total jumlah tenaga kerja nasional. Sebagian besar tenaga kerja tersebut terkonsentrasi pada UMKM kategori mikro yaitu sebesar 81,74% dari total tenaga kerja UMKM.
Bagaimana dengan pandangan ekonomi Islam? Ekonomi Islam menekankan bahwa pergerakan ekonomi haruslah berada pada tataran sektor riil. Jika perekonomian ini bisa dikembangkan dengan maksimal, maka kesejahteraan sosial akan tercipta. UMKM merupakan salah satu bentuk konkrit pergerakan sektor riil. Oleh karena itu, sejatinya ekonomi Islam lebih mementingkan ini daripada terus menerus mengawang di sektor makro.
Peran Zakat dalam Membangun Kesejahteraan Masyarakat
Zakat merupakah salah satu pilar agama. Peran penting zakat tergambar jelas dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
“Islam dibangun di atas lima tiang pokok, yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah; mendirikan shalat; membayarkan zakat; berpuasa pada bulan Ramadhan; dan naik haji bagi yang sanggup.”
Peran penting zakat juga tergambar dari kenyataan bahwa al-Qur’an dan Sunnah selalu menggandengkan shalat dengan zakat. Dalam tafsir ath-Thabari, Abdullah bin Mas’ud mengungkapkan, “Anda sekalian diperintahkan menegakkan shalat dan membayarkan zakat. Siapa yang tidak mengeluarkan zakat maka shalatnya tidak akan diterima.”
Zakat memiliki peranan besar dalam menselaraskan kehidupan sosial masyarakat. Setidaknya zakat memiliki beberapa peran esensial dalam kehidupan sosial masyarakat.
Pertama, bagi orang kaya zakat berfungsi sebagai pengingat bahwa harta kekayaan yang dimiliki tidak sepantasnya disimpan (idle). Dengan zakat Allah memberi peringatan dan pendorong bahwa harta yang dimiliki harus diproduktifkan sehingga tidak bertumpuk pada satu orang. Bagaikan aliran darah yang mengalir, seandainya harta itu menumpuk di sebagian orang kaya, maka akan terjadi penyakit atau ketimpangan sosial sebagaimana terjadinya penyakit akibat penggumpalan darah.
Kedua, bagi penerima zakat (mustahik), harta zakat yang diberikan jelas sangat berguna. Harta tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan produktifitas penerima agar kelak di kemudian hari mereka pun bisa menjadi pemberi zakat (muzakki).
Ketiga, dilihat dari sektor makro, harta zakat yang diberikan kepada mustahik akan menggerakan roda perekonomian lebih baik lagi. Logikanya, seandainya di sebuah desa hidup 5 orang kaya dan 40 orang miskin. Kemudian, kelima orang kaya ini mengeluarkan harta zakatnya sehingga seluruh orang miskin tersebut mendapatkan haknya. Harta yang sudah ada di tangan mustahik kemudian dibelanjakan kepada para pemilik barang yang tidak lain adalah orang kaya pula. Harta zakat terbukti akan menimbulkan efek domino karena dalam perputaran uang itu akan timbul keuntungan-keuntungan yang diharapkan. Oleh karena itu, sangat tepat sekali jika al-Quran mengatakan bahwa harta yang dizakatkan tidak akan berkurang, justru sebaliknya akan semakin bertambah. Bukankah secara logika uang akan bertambah jika terus digulirkan?
Pada tataran masyarakat yang kompleks, aspek mentalitas pun perlu menjadi perhatian. Dengan mentalitas yang baik, harta zakat yang diberikan akan lebih produktif sehingga kesejahteraan di masyarakat akan tercipta. Semoga dunia ini lebih banyak dihiasi dengan sistem ekonomi yang lebih berkeadilan. Tidak hanya mementingkan keuntungan dunia semata tapi juga bertendensikan kepada fitrah kemanusiaan. (*)

3 comments:
betul sekali fron..
dari zaman dahulu, terutama zaman Rasulullah saw dan para sahabat, sistem perekonomian yang berdasarkan qur'an dan hadist pasti akan sejahtera.. karena Allah sudah menjamin hal itu.
TAPI!!! tidak hanya luarnya saja (lebelnya doank) yang bawa "embel-embel" 'syari'ah'..
ayo kita berjuang "men-syariah-kan" bank syariah" di Indonesia..
Setuju Mir. Masih banyak yang perlu diperbaiki dan diselaraskan untuk membangun sistem ekonomi islam yang benar-benar sesuai syariah dan mensejahterakan bagi seluruh manusia di muka bumi ini. Banyak hal teknis yang perlu ditelaah lebih dalam dan dicarikan solusinya.
kajian yg mnarik. setuju dg mas amir, jangan sampai konsep ekonomi syariah hanya menjadi "jualan" semata oleh bank2, dg maksd memperolh keuntungn semata.
semoga ini dpt terwujudkan, amien
Post a Comment