Di negeri ini, UKM menjelma layaknya nadi yang menjalar di seluruh organ kepulauan Indonesia. Denyutnya yang tidak begitu keras namun secara konsisten mengalirkan kehidupan dari ujung Sabang hingga Merauke. UKM ini pula yang menjadi pahlawan nasional kala krisis ekonomi 1998 menerjang bangsa ini. Dengan karakter nadi yang senantiasa mengalirkan kehidupan, begitupun dengan UKM kala itu, berfungsi sebagai nadi yang mempertahankan kesejahteraan masyarakat.
Sejak terjadinya krisis ekonomi 1998 hingga dewasa ini, perekonomi Indonesia mengalami pasang surut yang berimbas luas terhadap pelaku ekonomi termasuk juga UKM di dalamnya. Masa penyembuhan pasca krisis yang cukup memakan waktu, ancaman krisis global yang baru beberapa saat terjadi hingga tantangan ACFTA (Asean Cina Free Trade Agreement) yang baru saja bergulir menuntun pemikiran matang, mendalam nan meyakinkan untuk mengurai bagaimana dan apa yang semestinya dilakukan guna mencipta UKM yang berdaya saing sehingga mampu menjadi actor dalam percaturan perekonomian global.
Dalam mewujudkan cita-cita ini, sejatinya pemerintah, perbankan serta UKM melakukan sinergi satu sama lain. Pemerintah bertindak sebagai regulator yang mengeluarkan kebijakan guna pembangunan UKM, perbankan bertindak sebagai pengayom dana, sedangkan UKM sendiri berkewajiban meningkatkan kualitasnya dalam wirausaha. Memang, sejauh ini link and match antara ketiga komponen ini belum begitu maksimal dilakukan sehingga pembangunan yang diharapkan pun belum maksimal juga.
Faktor yang tidak kalah penting untuk mewujudkan UKM yang berdaya saing adalah faktor mental. Pelaku UKM sebagian besar tidak mengenyam pendidiakan tinggi. Sehingga, pola pikir yang terbentuk menjadi sempit dan tidak inofatif. Tidak sedikit pelaku UKM yang sekian puluh tahun hanya bergelut dengan hal itu itu saja, walaupun banyak juga yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Inilah sebenarnya faktor penting yang harus diuraikan solusi nyatanya.
Sinergi tiga komponen di atas sejatinya bukan hanya sebatas pendanaan namun juga mengarah kepada pembinaan. Pembinaan ini memang tidak bisa dilakukan sekali waktu, bahkan bisa membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan. Cukup melelahkan memang, namun hasil yang akan didapat memuaskan. Salah satu bentuk pembinaan itu adalah agar pelaku UKM memiliki jiwa wirausaha yang senantiasa tampil progresif, inofatif, kreatif, memiliki integritas tinggi dan senantiasa berkompetisi sehat dalam mewujudkan kesejahteraan umum.
Ekonomi memang bukan perkara untung rugi semata, namun juga terkandung rasa sosial antara sesama. Pada akhirnya, sinergi yang dilakukan ketiga komponen di atas membutuhkan modal besar yang sangar kuat yaitu kesediaan untuk berkorban demi pembangunan. Sepertinya memang mudah. Namun, mampukah hal ini dilaksanakana? (*)
Muhammad Gufron Hidayat,
Mahasiswa Ekonomi Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sejak terjadinya krisis ekonomi 1998 hingga dewasa ini, perekonomi Indonesia mengalami pasang surut yang berimbas luas terhadap pelaku ekonomi termasuk juga UKM di dalamnya. Masa penyembuhan pasca krisis yang cukup memakan waktu, ancaman krisis global yang baru beberapa saat terjadi hingga tantangan ACFTA (Asean Cina Free Trade Agreement) yang baru saja bergulir menuntun pemikiran matang, mendalam nan meyakinkan untuk mengurai bagaimana dan apa yang semestinya dilakukan guna mencipta UKM yang berdaya saing sehingga mampu menjadi actor dalam percaturan perekonomian global.
Dalam mewujudkan cita-cita ini, sejatinya pemerintah, perbankan serta UKM melakukan sinergi satu sama lain. Pemerintah bertindak sebagai regulator yang mengeluarkan kebijakan guna pembangunan UKM, perbankan bertindak sebagai pengayom dana, sedangkan UKM sendiri berkewajiban meningkatkan kualitasnya dalam wirausaha. Memang, sejauh ini link and match antara ketiga komponen ini belum begitu maksimal dilakukan sehingga pembangunan yang diharapkan pun belum maksimal juga.
Faktor yang tidak kalah penting untuk mewujudkan UKM yang berdaya saing adalah faktor mental. Pelaku UKM sebagian besar tidak mengenyam pendidiakan tinggi. Sehingga, pola pikir yang terbentuk menjadi sempit dan tidak inofatif. Tidak sedikit pelaku UKM yang sekian puluh tahun hanya bergelut dengan hal itu itu saja, walaupun banyak juga yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Inilah sebenarnya faktor penting yang harus diuraikan solusi nyatanya.
Sinergi tiga komponen di atas sejatinya bukan hanya sebatas pendanaan namun juga mengarah kepada pembinaan. Pembinaan ini memang tidak bisa dilakukan sekali waktu, bahkan bisa membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan. Cukup melelahkan memang, namun hasil yang akan didapat memuaskan. Salah satu bentuk pembinaan itu adalah agar pelaku UKM memiliki jiwa wirausaha yang senantiasa tampil progresif, inofatif, kreatif, memiliki integritas tinggi dan senantiasa berkompetisi sehat dalam mewujudkan kesejahteraan umum.
Ekonomi memang bukan perkara untung rugi semata, namun juga terkandung rasa sosial antara sesama. Pada akhirnya, sinergi yang dilakukan ketiga komponen di atas membutuhkan modal besar yang sangar kuat yaitu kesediaan untuk berkorban demi pembangunan. Sepertinya memang mudah. Namun, mampukah hal ini dilaksanakana? (*)
Muhammad Gufron Hidayat,
Mahasiswa Ekonomi Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No comments:
Post a Comment